Pandangan Masyakarat soal Film Pengepungan di Bukit Duri, Guru ABK Apresiasi Angkat Masalah Emosi dan Perilaku

Ica, Guru Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berikan pandangan untuk Film Pengepungan di Bukit Duri (Kolase: AVNMEDIA.ID)
AVNMEDIA.ID - Karya terbaru sutradara kenamaan Joko Anwar, Film Pengepungan di Bukit Duri, telah memantik banyak respons dan diskusi di tengah kalangan masyarakat.
Tak hanya dinikmati sebagai tontonan dan hiburan, sejak tayang perdana tanggal 17 April 2025, film Pengepungan di Bukit Duri turut menjadi medium untuk refleksi sosial.
Berbagai forum publik, media sosial, dan diskusi komunitas film, masyarakat menunjukkan beragam reaksi, mulai dari kekaguman, apresiasi, hingga kegelisahan usai menonton Pengepungan di Bukit Duri.
Hal ini pun menarik perhatian Ica, seorang Guru Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang turut mengutarakan pandangan dan apresiasinya untuk film Pengepungan di Bukit Duri.
“Film ini tuh bagus, ngangkat isu anak-anak dengan masalah emosi dan perilaku. Rata-rata memang korban dari keluarga,” ujar Ica, Guru Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Sepanjang film, saya ngerasa sedih karena anak-anak itu semua korban dari kita orang dewasa karena kita ignorance. Kayak tadi Jefri. Jefri marah. Itu hanya surface behavior (padahal) dalamnya karena dia sedih,” jelas Ica.
“Mudah-mudahan, film ini ningkatin awareness semua orang bahwa anak-anak itu layak banget dilindungi,” harap Guru ABK tersebut.
Melalui film Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar tidak bermaksud menakut-nakuti penonton.
Justru sebaliknya, Joko Anwar ingin mengajak kita berkaca pada realitas sosial-politik Indonesia yang semakin hari terasa makin riuh dan penuh ketidakpastian.
“Film ini kami buat untuk mereka yang peduli dengan kondisi bangsa,” ungkap Joko Anwar dalam sebuah diskusi, menegaskan bahwa karya ini adalah panggilan untuk refleksi, bukan sekadar hiburan gelap.
Bagi penonton yang menyelami film ini lewat kacamata intelektual dan nurani, Pengepungan di Bukit Duri tampil sebagai kritik sosial yang menggigit, disampaikan lewat kemasan sinema yang kuat dan penuh estetika.
Film ini tidak hanya menawarkan ketegangan dan teror, tapi juga menyodorkan renungan mendalam, yakni bagaimana luka, dendam, dan kebencian bisa menjadi warisan turun-temurun jika tak segera diakhiri.
Meski mengambil setting tahun 2027, film ini sejatinya sedang berbicara lantang tentang hari ini.
Kisah Edwin, seorang guru seni keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran kebencian murid-muridnya hingga berujung pada pengepungan berdarah di sekolah, menjadi cerminan nyata dari konflik sosial dan etnis yang masih membekas dalam sejarah Indonesia.
Banyak yang menangkap film ini sebagai sinyal peringatan dini atas luka-luka masa lalu yang belum sepenuhnya pulih, terutama tragedi Mei 1998.
Namun Joko Anwar menegaskan, niat film ini bukan untuk membongkar trauma, melainkan membuka mata bahwa rantai kebencian harus diputus sekarang, agar masa depan bisa ditata lebih manusiawi dan adil. (apr)